Terkenal Tradisi Megibung Hingga Kini
Tradisi Megibung Makan Bersama dari karangasem Bali. |
Diperkirakan tahun 1692 Tradisi Megibung telah dimulai. Tradisi Megibung
dari karangasem diperkenalkan oleh Raja Karangasem yaitu I Gusti Agung Anglurah Ketut Karangasem (1691 – 1692). Raja I Gusti
Agung Anglurah Ketut Karangasem tersebut merupakan keturunan Raja ke 4 dari
kerajaan Karangasem. Kerajaan karang asem merupakan kerajaan Hindu yang berdiri
sekitar abad ke 16 sampai abad ke 17 dibagian Timur Pulau Bali. Bahkan pada masa kejayaannya, kerajaan karangasem
tersebut memiliki kekuasaan hingga Pulau
Lombok.
Sebenarnya apa itu Tradisi
Megibung?, mengapa tradisi tersebut erat kaitannya dengan tradisi yang
dilakukan masyarakat karangasem. Bisa dikatakan cukup membanggakan sebagai aset
kebudayaan bangsa Indonesia, dikarenakan Tradisi
Megibung itu sendiri tetap terpelihara sampai saat ini.
Awal mula Tradisi Megibung.
Awal Kemunculan tradisi megibung disampaikan dalam beberapa versi. Namun
dalam salah satu versi dinyatakan, bahwa tradisi megibung mulai dilaksanakan
pada saat jaman kerajaan karangasem ketika menjalani masa perang dengan Lombok
oleh Raja Karangasem, yakni I Gusti Anglurah Ketut abad ke 16. Megibung pada
masa itu digunakan sebagai cara menghitung jumlah pasukan dan mengetahui korban
peperangan.
Tradisi Megibung tejadi pada saat I Gusti Agung Anglurah Ketut saat itu menang
perang ketika menaklukan kerajaan-kerajaan di sasak, Lombok. Diawali ketika para
prajurit sedang makan, kemudian Raja membuat aturan makan bersama tersebut dengan
posisi melingkar yang dinamakan Megibung. Istilah Megibung berasal dari kata Gibung
yang di berikan awalan Me- menjadi Megibung. Sedangkan Gibung disini artinya adalah Kegiatan yang dilakukan oleh banyak
orang secara bersama-sama. Dengan melihat jumlah prajurit kerajaan yang cukup banyak saat itu yang lebih
dari 8000 orang prajurit. Bahkan Raja
pada saat itu juga ikut makan bersama bersama para prajurit secara melingkar.
Tradisi Magibung pada Jaman Sekarang.
Megibung pada jaman sekarang ini tetaplah bukan hanya acara makan-makan
bersama biasa saja . Tetapi lebih kearah pelaksanaan acara keagamaan, acara
adat serta kebersamaan antara masyarakat di daerah karangasem yang terletak di
ujung timur Pulau Bali. Ada cara dan
tatalaksana yang musti di ikuti seiring dengan tujuan diadakannya acara
megibung tersebut.
Dalam konteks kehidupan sosial masyarakat, megibung tidak hanya cukup
dimakini dari proses makan bersama, namun telah mengandung cerminan ikatan
bekerja sama atau gotong royong antara orang yang menjamu dan masyarakat
lainnya. Ini dapat dilihat dari prosesi pengerjaan sarana megibung yang disebut
dengan istilah “karangan”.
Karangan tersebut merupakan beberapa menu makanan yang disajikan disebut
olahan. Olahan didasari dua unsur warna merah dan putih, yang melambangkan
wanita dan pria. Perkembangan olahan
selanjutnya disesuaikan dengan potensi masyakat di wilayah kabupaten
karangasem, dengan ragam jenis, nama dan bahan.
Selanjutnya olahan dirangkai berdasarkan tata letak dewata nawa sanga,
dewa penguasa arah mata angin, yakni :
1) urab warna putih timur Dewa Iswara.
2) jeruk warna dadu di tenggara Dewa Mahewara.
3) anyang warna merah selatan Dewa Brahma.
4) sadur, warna merah tua barat daya Dewa Rudra.
5) kacang-kacangan warna kuning, barat Dewa Mahadewa.
6) wilis, warna hijau barat laut Dewa Sangkara.
7) jukut belimbing warna hitam, utara Dewa Wisnu.
8) cecokot, warna biru tua, timur laut, Dewa Sambu.
9) Padamara, panca warna di tengah, Dewa Siwa.
Dari kesembilan hasil olahan diatas tersebut setelah siap disajikan saat
menjelang acara megibung, olahan tersebut terlebih dahulu di persembahkan kepada
tuhan melalui suatu kegiatan yang disebut mesembeh-sambeh
disekeliling area tempat megibung akan dimulai. Selain mencerminkan kebersamaan, tradisi
megibung juga mengajarkan masyarakat untuk disiplin. Oleh karenanya tradisi
megibung bukan merupakan acara makan yang sembarangan, melainkan acara makan
yang memiliki aturan ataupun tata cara yang harus dipatuhi.
Untuk menunjang tata cara megibung diperlukan petugas sebagai pengayah
yang nantinya bekerja untuk mengatur berbagai perlengkapan dan pelayanan
megibung.
Perlengkapan tersebut
meliputi;
(1) mempersiapkan bundaran tempat megibung dengan batasan jarak yang
disesuaikan agar kelompok peserta atau yang dikenal dengan istilah “sela” tidak
berhimpitan dengan kelompok peserta atau sela yang lain,
(2) menata nasi di atas pegibungan yang beralaskan aledan. Aledan ini
umumnya terbuat dari anyaman daun aren yang disesuaikan dengan ukuran
pegibungan, tatanan nasi ini disertai sambal atau garam yang ditempatkan di
masing-masing sudut pegibungan dan tatanan bermacam-macam lauk-pauk, sayuran
yang telah ditempatkan secara khusus di samping pegibungan,
(3) menyiapkan air yang ditempatkan pada baskom besar untuk peserta
mencuci tangan,
(4) menyiapkan air minum untuk peserta yang ditempatkan di seputaran
area megibung, dan
(5) Nasi yang ditempatkan dalam baskom atau bakul besar atau dikenal
dengan istilah “pemubung” sebagai tambahan nantinya.
Setelah tahap persiapan selesai, selanjutnya peserta megibung diundang
untuk tergabung dalam 1 kelompok yang dikenal dengan istilah sela, dengan
jumlah 8 orang, duduk bersila untuk pria dan bersimpuh untuk wanita dengan
posisi miring etika tangan kanan mengarah kegibungan dan yang lebih tua berada
paling utara berdekatan dengan karangan
yang sekaligus merupakan bentuk penghormatan menjadi pemimpin “sela”. Pemimpin
sela mengawali dengan kegiatan menaruh olahan dan kuah sebagai menu awal yang
ditempatkan di tengah gundukan nasi.
Peserta gibungan memulai makan apabila sudah ada arahan atau komando untuk
dipersilahkan makan oleh perwakilan pihak yang menjamu.
Adapun dalam pelaksanaan makan dengan cara megibung, penuangan lauk
hanya boleh dilakukan oleh pemimpin “sela”.
Selain ketentuan penuangan lauk- sayuran dan lauk-pauk peserta megibung juga
diatur dalam berperilaku makan, yang diantaranya pada saat proses makan
berlangsung, peserta dilarang untuk mengembalikan sisa makanan yang tidak cukup
masuk kemulut ke dalam gibungan, berbicara dengan suara keras atau berteriak,
berdahak, dan buang angin, serta bangun untuk melakukan aktivitas seenaknya
yang dapat mengganggu kenikmatan menyantap makanan. Setelah prosesi makan
selesai peserta megibung dilarang untuk mendahului meninggalkan tempat
megibung. Peserta diperkenankan bangun untuk meninggalkan tempat megibung
apabila sudah diperkenankan oleh perwakilan pihak keluarga yang menjamu.
Tradisi Megibung merupakan kegiatan yang dimiliki oleh masyarakat
Karangasem yang daerahnya terletak di ujung timur Pulau Dewata. Tanpa disadari Megibung menjadi suatu maskot atau
ciri khas Kabupaten Karangasem dengan ibukota Amlapura. Berkumpul bersama-sama
sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Karangasem didalam melakukan kegiatan
baik dalam upacara Keagamaan, Adat maupun kegiatan sehari-hari ketika berkumpul
dengan sanak saudara.
Saat ini kegiatan megibung kerap kali dapat dijumpai pada saat prosesi
berlangsungnya Upacara Adat dan Keagamaan di suatu tempat di Karangasem. Misalnya
dalam Upacara Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya dan Manusa Yadnya. Biasanya yang punya acara memberikan undangan kepada
kerabat serta sanak saudaranya guna menyaksikan prosesi kegiatan upacara
keagamaan tersebut. Sehingga prosesi upacara dapat berlangsung seperti yang
diharapkan.
Tradisi Megibung ini menjadi tradisi yang tetap dilestarikan hingga saat
ini. Tradisi tersebut bukan hanya digunakan oleh keluarga kerajaan saja
setelah berperang. Yang tujuan awalnya adalah untuk menghitung jumlah prajurit yang tersisa setelah berperang. Kini Magibung lebih digunakan untuk berbagai kepentikan seperti
upacara adat, upacara keagamaan dan acara penting keluarga terutapa di daerah karangasem itu sendiri.
Sumber :
Artikel Terkait:
Tidak ada komentar: